12 August 2006

Berefleksi dari Lukisan Diri

By Nilora


Beberapa hari lalu aku mencari sesuatu di laci meja kerjaku dan secara kebetulan kutemukan lagi dua lukisan kartun diriku yang dibuat oleh para pelukis di Piazza Navona pada liburan musim panas tahun 2005 di kota Roma. Kuperhatikan dua lukisan itu secara seksama dan untuk pertama kalinya aku terkesima melihat perbedaan yang mencolok antara kedua lukisan itu.


Melihat dua lukisan kartun ini, ingatanku membuat aku kembali tersenyum pada peristiwa malam itu di Piazza Navona. Ketika itu bersama dua teman, aku memuaskan rasa dengan melihat Piazza Navona yang terkenal itu secara lebih dekat. Bagiku piazza ini tampak unik karena berbentuk seperti lintasan lari pada zaman Romawi dan merupakan salah satu sisa-sisa karya seni dari Roman Baroque. Ditengahnya ada “Fontana dei Quattro Fiumi” , air mancur dengan tugu seorang Mesir ditengahnya, yang didesain oleh Bernini (Artis bersar yg mendesain pilar-pilar di st Peter’s Square pada awal thn 1656). Di ujung piazza ada air mancur lain, “the Fontana del Moro”, yang didesain ulang pada tahun 1653 oleh Benini (yang mendesain patung dewa laut ditengahnya). Di depan piazza ada gereja Sant’ Agnese in Agone yang selesai dibuat pada tahun 1657 oleh Barromini. Perasaanku waktu itu ketika berada ditengah bangunan bersejarah dan suasana malam yang indah itu, serasa berada kembali di tengah peradaban terindah para leluhur. Dalam suasana seperti itulah, aku tertarik untuk membiarkan diriku dilukis di piazza Navona, ditempat bersejarah itu.


Aku duduk ditengah piazza dan si artis melukis aku sambil beberapa orang menonton. Dalam waktu sekitar 10 menit lukisan selesai dan aku membayar 10 euro. Ketika temanku melihat hasil lukisannya, temanku berkomentar, “Rasanya tidak mirip ya!”. Aku pun mengiyakan begitu saja, namanya juga kartun. Lalu kami berjalan-jalan keliling dan melihat pelukis yang lain dan aku tertarik lagi untuk mencoba karena tertarik pada hasil lukisannya akan seorang anak yg dibuat sebelumnya. Akupun dilukis lagi oleh pelukis berbeda. Hasilnya... kurasa juga tidak mirip-mirip denganku (itu menurutku dan menurut temanku) tapi aku sudah puas dan kembali ke rumah penginapan dengan hati bahagia. Tidak pernah berpikir lagi tentang lukisan itu.


Tapi sejak beberapa hari lalu ketika kulihat lagi kedua lukisan itu, aku tiba-tiba merasa tertarik tuk melihat lukisan-lukisan itu secara mendalam. Kurasa kedua lukisan itu tampak berbeda sekali (lihat aja dua kartun di atas... beda kan? ^_^). Aku pun berpikir kedua kartun itu berbeda karena kedua orang yang melukis adalah pribadi-pribadi yang unik yang memiliki gaya melukis tersendiri. Merekapun mempunyai latar belakang dan pikiran yang berbeda satu sama lain. Si pelukis A menggambarkan aku dalam kartun sebagai seorang yg tertarik pada wanita.. pipiku agak gemuk, bibirku tampak seksi, dan tampak aku sedang melihat seorang gadis duduk di kejauhan. Sedangkan pelukis B menggambarkan aku sebagai orang yang memiliki mata yg tajam dan tampak kurus dengan leher yang panjang. Berbeda kan! Walaupun mereka berada ditempat yang sama, pada malam yang sama, toh dalam kedalaman diri dan dalam pikiran dan hati mereka, tampaklah keaslian dan keunikan diri mereka.


Kupikir-pikir dan kurasa kita toh tidak jauh berbeda juga... kita masing-masing adalah pribadi yang unik. Temanku selalu berkata, “Aku ini bukan cerminan diri kamu”, ketika tiap kali aku menasehatinya. Betul juga kurasa dan kurasa dia benar.

Begitu pula sebagai bangsa, bangsa kita adalah bangsa yang unik. Sering aku merasa kagum pada negara kita yang mengedepankan kebhinekaan. Kagum pada negara kita yang menekankan “unity in diversity”.


Tapi kadang aku terus bertanya dan bertanya... mungkinkah “unity in diversity” terus tumbuh hidup ditanah tumpah darahku? Mungkinkah kebhinekaan tetap lestari di negeriku? Ataukah kita akan menjadi negara dengan satu suku, satu budaya, dan satu agama? Mungkinkah aku menghargai perbedaanmu? Mungkinkah aku menghargai pendapatmu? Atau mungkinkah aku ingin memaksamu sama seperti diriku? Mungkinkah aku mau kamu menjadi diriku yang lain? Mungkinkah aku menutup mata terhadap perbedaan yang ada? Mungkinkah aku menolak perbedaan dan berkata “I just stop you from being my friends!”


Aku rasa... aku akan terus bertanya dan bertanya, dan pertanyaanku akan tidak pernah berhenti dalam ziarah waktu. Aku sadar tidak akan ada jawaban pasti tuk setiap pertanyaan karena kamu bukan aku dan aku bukan mereka dan mereka bukan kita. Kita berbeda. Entahlah... mungkin yang bisa kubuat saat ini cuma berusaha berbuat seperti yang dikatakan Mother Teresa of Calcutta, “Let’s do something beautiful for God!”.



No comments: