11 November 2006

Jelas, Jalanku kini!


Oleh : Fr. Nicodemus Lobo Ratu, SVD*

Aku duduk diam, tanpa kata. Aku menatap kamarku yang morat-marit, diktat-diktat yang berserakan, meja belajar yang dipenuhi kertas, pakaian yang bergantungan sesukanya. Pikiranku melayang-layang entah kemana, menembus batas ruang dan waktu. Pikiranku terbang tinggi, mengagumi Edgar Alan Poe, pelopor musik impresionis. Tidak lupa pula aku memikirkan Edward Grieg, seorang komponis yang turut membangun pendopo musik Impresionis. Aku juga mengagumi dramawan Jerman Wolfgang von Goethe. Karya Goethe "Egmont" masih menarik perhatianku...aku menjadi iri. Pikiran liarku terus singgah kemana-mana. Aku juga mulai memikirkan karya drama Albert Camus "Les Justes"...karya Arthur Koesther "Darkness at Noon"...karya Jacqueline Moattir, seorang ahli bahasa klasik yang menerjemahkan karya-karya Euripides "Wanita-wanita Troya" (415 SM) ke dalam bahasa Perancis. Kadang aku memikirkan teori-teori filsafat dari Aristoteles, Plato, atau mencoba memahami alam pikiran Thomas Aquinas, teolog besar itu. Pikiranku terus berkelana, tapi aku tidak bisa menemukan benang merah. Aku mulai jatuh pada kekecewaan terhadap ketidakpastian alam pikiran.

o0o

Dua tahun lalu, pesawat Merpati Nusantara Airline baru saja tinggal landas dari bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Selaparang, Mataram. Aku ada di dalamnya. Ketika pramugari mengumumkan penggunaan sabuk pengaman...aku agak kebingungan. Soalnya aku awam sekali dalam hal yang satu ini.

"Mbak...gimana cara memakai ini?" tanyaku tanpa malu. "Permintaan serius atau hanya pingin kenalan?" katanya spontan. "Busyet dah...mendingan aku nggak nanya...ge-er banget sih gadis ini" pikirku dalam hati. Saking jengkelnya aku tidak menanggapi komentar gadis itu. Aku duduk diam tanpa peduli. Mungkin karena merasa bersalah dia memulai perkenalan. "Aku..Tia" katanya sambil menyodorkan tangannya. "Nilora" kataku cuek tapi tetap menyalaminya...basa-basi. "Nilora!", katanya terkejut. "Kayaknya ada temanku...waktu kecil yang namanya Nilora," gumamnya. Kini aku yang terkejut. Aku memperhatikan gadis itu. "Ah...aku tidak mengenalnya," kataku pada diri sendiri. "Nilora...asli mana?" tanyanya lebih lanjut.
"Mataram" jawabku.
"Aku juga dari Mataram," katanya dengan antusias.
"Oo....," gumamku cuek.
Semenjak itu dia tidak berani lagi menyapa aku. Aku sebenarnya pingin mengenalnya, menanyakan alamatnya, apalagi gadis itu cantik menurutku...paling tidak bisa menambah koleksi sahabat. Tapi kali ini entah kenapa aku tidak peduli...aku mati minat untuk mengenalnya. Aku hanya memikirkan untuk memberi pelajaran pada gadis yang bernama Tia itu.

o0o

Sudah seminggu aku di rumah...tidak ada kegiatan berarti...kadang-kadang aku ke Pastoran membantu Romo Teo. Dan pada hari Minggu aku diminta untuk membagi komuni di Gereja atau memberi komuni untuk orang sakit. Kadang-kadang aku mendampingi mudika dalam acara sharing setiap malam Selasa. Selain itu aku praktis tinggal di rumah.
"Kak...," panggil adik bungsuku Dewo.
"Ada apa...Dik?"
"Kak...masih ingat anaknya pak Hasan, tetangga kita?" selidiknya.
"Anak yang mana?" tanyaku.
"Anaknya yang baru pulang dari Turki...sudah seminggu dia tiba. Dulu waktu kecil teman main kakak," kata adikku dengan lancar.
"Tia...ya..?" kataku sekenanya.
"Benar...kak!"
"Lho...apakah selama ini dia di Turki?" tanyaku lagi. "Ya..Kak..., kata adik-adiknya, dia baru pulang dari Turki, tapi sebenarnya dia sekolah di Jerman. Sejak tamat SMP dia meninggalkan Mataram. Ibu Tia khan campuran ayah Turki dan ibu Jerman."
"Kak...tadi Dewo mendapat pesan dari Tia... Dia mau ke sini. Katanya kangen sama kakak, sudah lama tidak ketemu, sejak kakak masuk SMA Seminari."
"Oh ya? Kapan datangnya?" tanyaku.
"Nanti sore!"
"Lho...sekarang khan sudah sore?" kataku.
"Kriiiiiiing...Kriiiiiing...," bel rumah berbunyi.
"Itu kali, kak!" kata Dewo sambil berjalan ke ruang depan. Aku juga menyusul.
"Lho...kok kamu!" kataku terkejut.
"Nilora ya...?" katanya dengan tenang. Dia langsung menciumku...sambutan ramah gaya khasnya.
Aku mencoba menghilangkan keterkejutanku.
"Kamu yang di pesawat itu khan?" tanyaku kebingungan.
"Kamu sich...Tia sudah tanya macam-macam tapi tetap cuek aja...sombong sekali waktu di pesawat" katanya sambil tertawa. "Ah...kamu, bikin aku malu aja."
Dewo yang melihat adegan singkat itu menjadi bingung.
"Kakak sudah pernah ketemu...to?" gumamnya tak mengerti sambil ngacir.
Saya tidak menyangka si kecil Tia kini telah menjadi gadis cantik dengan postur yang langsing dan menarik. Keluargaku dan keluarga Tia sangat akrab.
Sejak pertemuan sore itu, sebagai sahabat lama Tia selalu mengajak aku berjalan bersamanya entah ke rumah teman lain, ke pantai, bioskop, atau kami ke pasar membeli bahan masakan. Dengan bahan itu, kami berdua memasak untuk orang serumah entah di rumahku atau di rumahnya. Kadang-kadang ia juga mengikuti acara-acara doa yang kupimpin atau kegiatan-kegiatan mudika di mana aku ada di dalamnya...yang mengherankan aku ortunya tidak pernah melarang ke manapun Tia pergi asal bersama aku. Mungkin karena aku frater kali.

o0o

Liburanku memang singkat...kegiatan bersama Tia kutinggalkan. Tia juga kembali ke Jerman. Tapi kenangan dan pengalaman bersamanya tidak pernah kulupakan. Lewat surat kami tetap menjalin hubungan. Aku di Jakarta...Tia di Jerman.
Seperti kata pepatah Jawa : Witing Tresna Jalaran Saka Kulino atau karena Hukum Kedekatan, hubungan kami yang semula biasa-biasa saja dan bahkan kurasakan sebagai hubungan kakak -adik kini mulai kabur. Perasaan cinta untuk memiliki telah tumbuh. Kesuburan cinta itu bertambah ... lebih-lebih bila di dalam biara aku mengalami masalah entah dengan teman atau pimpinan. Aku makin tidak mengerti diriku. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling membuat janji dan mimpi.

o0o

Beberapa hari yang lalu...aku bertemu lagi dengan Tia. Kami sudah saling janjian untuk bertemu. Dia sudah seminggu tiba di Mataram. Kali ini dia menjemputku di Bandara Selaparang. Pakaiannya hitam kelam...seluruhnya. Tapi nampak serasi dengan kulitnya yang putih manis. Aku menggodanya.
"Kamu... pakai pakaian berkabung ya?" godaku.
"Aku suka," jawabnya sekilas.
"Nilo..., sekarang kita langsung ke pantai saja!" ajak Tia. "Mengapa kita tidak langsung ke rumah saja?" tanyaku tidak mengerti.
"Tia mau bicara sesuatu...penting sekali."
Aku melihat dia begitu mengharap.
"Mungkin benar ada hal yang penting," gumamku dalam hati. Aku setuju saja dengan ajakannya.
"Kita mau ke pantai mana?" tanyaku lagi.
"Ke Senggigi," jawabnya.
"Oke..." kataku setuju.
Senggigi merupakan pantai yang indah, lebih kurang 25 menit dari Selaparang. Gelombangnya sungguh indah, turis-turis
berjemuran, orang-orang bermain ski air, sejuknya angin laut, sungguh menambah indah suasana.
Di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi kami beristirahat sambil menikmati pemandangan Senggigi yang mempesona.
"Nilo, aku cinta kamu...!" katanya sambil menunduk.
"Aku juga cinta kamu..." kataku sambil memeluknya. Kami saling berciuman. Ciumannya yang lembut..pipinya yang putih...bibirnya yang indah...aromanya yang khas... membuat kami serasa dalam mimpi. Suasana sungguh mesra.
"Nilo...benarkah kamu mencintaiku?" tanya Tia lagi minta penegasan.
"Tia aku sungguh mencintaimu!" kataku lagi.
"Nilo... aku mencintaimu... tapi sebenarnya aku masih ragu atas cinta dan perhatianmu karena kamu adalah seorang frater. Maukah kamu meninggalkan kefrateran demi aku?" tanyanya serius.

Aku tersentak. "Aku frater!" gumamku dalam hati. Aku bingung dan diam.
"Nilo! mau khan kamu meninggalkan kefrateranmu?" ajak Tia lagi. Aku tetap diam.
"Okelah kalau kamu bingung, aku tahu kamu pasti berat meninggalkan jubahmu karena kamu telah hidup di sana bertahun-tahun. Berat bagi kamu untuk meninggalkan teman-temanmu, meninggalkan masa depanmu. Tetapi aku kira kamu harus tahu bahwa cinta itu sekaligus salib dan pengorbanan. Maka kalau kamu sungguh cinta padaku, tinggalkan kefrateranmu!" ajak Tia dengan penuh keyakinan.
"Aku tahu cinta itu butuh pengorbanan. Tetapi apakah kamu memikirkan masa depan kita?" tanyaku padanya.
"Ya, aku sudah memikirkan itu. Aku mau mengajak kamu ke Jerman. Kita tinggal dan bekerja di sana. Kami mempunyai perusahaan keluarga di sana. Aku yakin kamu akan mendapat tempat di perusahaan keluarga kami" kata Tia dengan aksennya yang khas.
"Tia! aku memang tertarik dengan idemu tetapi aku merasa sangat berat bagiku meninggalkan jalan yang aku geluti saat ini. Aku berat meninggalkan komunitasku, meninggalkan aneka acara yang ada, melupakan indahnya doa dan meditasi, melepaskan kasih dari pimpinanku" kataku dengan penuh keberanian.
"Aku mengerti itu, tapi apakah kamu memperhitungkan perasaanku? Selama ini apakah kamu hanya bermain-main dengan aku? apakah cinta itu suatu permainan sehingga kamu dapat mempermainkannya!" kata Tia serius.
Aku berusaha tegar dan tenang.Kulihat wajahnya mulai sembab.
"Tia, aku mengerti betapa berat perasaanmu. Aku mengerti kamu pasti kecewa dengan sikapku. Cinta itu pengorbanan dan cinta itu tidak selalu harus memiliki" kataku lebih lanjut.

Tia memandangku, air mata mulai berguguran di pipinya yang manis. "Nilo, benar cinta itu tidak harus memiliki tetapi mengapa... mengapa baru kamu katakan sekarang? Nilo! kita sudah melangkah terlalu jauh. Dalam surat-surat kita, kita saling berjanji untuk hidup berdua. Kita berjanji untuk meninggalkan halangan-halangan yang ada pada kita. Tapi nyatanya kini kamu mengingkari itu. Dengan enaknya kamu berkilah cinta itu tidak harus memiliki. Gombalkah kamu selama ini? Kata Tia dengan emosi yang meluap-luap.
"Tia, maafkan aku. Kini aku harus berterus-terang padamu. Selama ini aku takut kehilangan kamu. Aku tidak berani berkata lewat surat mengenai sikapku. Aku takut kamu tidak mau menjadi sahabatku. Kini aku kira saat yang tepat untuk menyatakan bahwa cinta itu tidak harus memiliki. Aku masih cinta kamu tetapi berat juga bagiku untuk meninggalkan hidup membiara."
"Nilo! aku tidak ingin memaksa kamu lagi. Mungkin aku keliru menilai sikapmu. Tetapi ingatlah kamu sebenarnya mempermainkan aku. kamu hanya ingin menikmati indahnya cinta seorang wanita. Teganya kamu, Nil!" kata Tia dengan wajah bertaburan air mata.

Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku bingung menghadapi situasi seperti ini. Aku menjadi tegang...emosional. "Aku harus tegar apapun yang terjadi" kataku dalam hati. Aku meremas-remas pasir pantai seolah-olah mau meremas dan membuang seluruh permasalahanku.
"Nilo! kamu jahat!" kata Tia lebih lanjut.
Aku tatap dia serius. "Tia, aku tidak mau kita ribut. Mari kita lupakan persoalan kita walaupun ini berat. Mari kita membina cinta yang murni. Aku tetap mencintaimu tetapi aku merasa tidak pantas untuk memilikimu. Kamu cantik, kamu punya segalanya. Pria yang mendapatkan kamu pasti bahagia" kataku meyakinkan Tia.
"Nilo! antar aku pulang. Aku tidak akan pernah menyetujui sikapmu" katanya lebih lanjut... sangat tegas.
Aku tidak begerak. Aku tetap membisu di tempatku.
"Nilo! antar aku pulang" kata Tia mendesak.
Kutatap dia ada titik kekecewaan di wajahnya. Itulah yang membuat hatiku pedih.

o0o

Pantaslah bila hari-hari belakangan ini aku pusing. Diktat-diktat kuliah seolah menjadi hantu bagiku. Teolog dan filsuf seolah menjadi musuhku. Semenjak peristiwa di pantai itu. Aku dihantui perasaan bersalah dan berdosa. Aku merasa bersalah pada Tia dan merasa berdosa karena aku merasa tidak suci lagi. Aku merasa tidak suci karena telah berciuman mesra dengan Tia. Masih frater aku sudah berbuat seperti ini.
Bukankah kalau aku menjadi imam tindakan "brutal" ini akan menjadi-jadi? Kekuatiran dan pertanyaan itu membuat aku tidak aman dalam kesendirianku.
Aku merasa makin tidak pantas hidup di biara. Hidup di tengah orang-orang suci. Aku ingin hidup di luar. Bukan berarti aku membawa ketidaksucianku tetapi di luar aku lebih bisa menerima masa laluku yang "berdosa". Di biara masa lalu itu tidak mendapat tempat di hatiku, di hati teman-temanku, dan di hati para formator (pembina). Pengalaman cinta dengan seorang wanita merupakan aib seorang biarawan tetapi tidak bagi orang luar.

o0o

Kini aku merasa tenang dengan keputusan yang kupilih. Aku keluar dari biara. Aku merasa menemukan hidup baru. Aku juga melupakan Tia. Dan mungkin Tia juga melupakan aku. Aku masih tetap merasa bersalah padanya tetapi aku juga enggan bertemu dengan dia. Aku harus melupakannya, yang lalu biarlah berlalu. Yang kupikirkan saat ini bagaimana aku hidup suci di tengah duniaku yang baru. Aku ingat kata-kata Mother Theresa : "Let's do something beautiful for God." (Lakukanlah sesuatu yang indah bagi Tuhan). Bisakah aku melakukan itu? Aku tidak tahu. Ternyata tidak semudah teori dan tidak segampang pikiranku.
"Rupanya untuk menjadi suci di biara dan di luar biara ternyata sama- sama sulitnya," kataku dalam hati. Aku tinggalkan pikiranku yang kacau. Biarlah aku tidur dalam mimpi. Aku berharap esok hari kutemukan secercah cinta suci dari Tuhan.


Malang, 11 Oktober 1997

-----------------------------------------
Fr. Nico, di sela-sela kesibukannya menyusun skripsi S-1 tentang Kenabian Yesus menurut Al Quran ini masih sempat menyusun kata-kata indah nan romantis dalam cerpen ini.

No comments: