7 October 2007

Sepanjang Jalan Kenangan Bersama Dua Missionaries Redemptories

Oleh P. Nicodemus Lobo Ratu, SVD*


Charles Dickens pernah berkata, “Reflect upon your present blessings, of which everyone has many; not on your past misfortunes of which all have some”. Saya setuju dengan kata-kata Charles Dickens ini, tetapi saya juga berpikir adalah indah kalau kita juga berefleksi tentang kelimpahan yang kita terima di waktu lampau sebagai warisan yang kita perlu kembangkan sekarang dan di hari esok. Dalam konteks inilah saya mensharingkan pengalaman-pengalamanku bersama dua missionaries Redemptoris yang sedang dan pernah bekerja di pulau Sumba.

I

Baru-baru ini saya ke “Bristol Haematology & Oncology Centre” mengunjungi seorang umatku, seorang perempuan muda, berumur 30-an tahun, yang menjalani kemoterapi sebagai usahanya untuk mengalahkan keganasan kanker yang sedang menjalar di tubuhnya. Kunjungan ini menyentuh juga hidup saya. Dalam beberapa kali kunjungan, pengalaman masa lalu saya muncul kembali dalam ingatan saya.

Pengalaman yang tak akan pernah terlupakan itu terjadi kira-kira di tahun 80-an. Saya duduk dibangku kelas lima SDK Andaluri dan tinggal di Wara-Waingapu bersama tanteku pada waktu itu, ketika sebuah penyakit aneh menimpa saya. Di usia seperti itu, menderita penyakit yang aneh tampak seperti mimpi buruk. Tanpa tahu apa penyebabnya, tiba-tiba saya tidak bisa menggerakkan kaki kiri saya, ketika terbangun di suatu pagi. Saya benar-benar merasa lumpuh. Kaki saya mulai membengkak dan kondisi sayapun mulai melemah bersama dengan bertambahnya waktu. Dalam situasi saya seperti itu, saya beberapa kali dikunjungi oleh Pater Bernhard Zyzik, CSsR. Pada suatu kesempatan beliau menaruh saya dipundaknya dan membawa saya ke rumah paroki. Di sana beliau menghibur saya dengan permainan “puppet” dan menyuruh saya memilih aneka permen berbentuk binatang yang jumlahnya tak terkira. Sungguh saya merasa berada dalam dunia yang lain. Dunia kegembiraan yang maha besar untuk seorang anak. “Mungkin kecil baginya, tapi sungguh besar bagi saya”. Di kali berikut ketika beliau datang lagi mengunjungi saya, dalam hati saya sempat bergumam,”Suatu saat kalau saya sembuh, saya ingin menjadi seperti beliau”.


Dalam perjalanan waktu, saya pindah ke Bima, tinggal bersama orang tua dan melanjutkan SD di sana. Setelah setahun, saya mulai sehat dan bisa berjalan kembali. Pikiran untuk menjadi imam untuk sementara menghilang dari diri saya. Bahkan ketika saya berada di kelas satu di SMP Diponegoro (Sumbawa Besar), saya sempat diminta oleh pater Thomas Tehpo, SVD (almarhum) untuk melamar masuk seminari Labuan Bajo yang waktu itu baru saja dibuka. Tetapi saya katakan pada beliau bahwa saya tidak tertarik untuk masuk seminari karena saya lebih tertarik untuk menjadi guru agama sama seperti bapak saya.

Namun cerita dan jalan kehidupan berkata lain. Tiga tahun kemudian ketika saya sudah beberapa bulan belajar di SMAK St. Gregorius, Sumbawa Besar, bapak saya datang dari Bima dan menyarankan saya agar saya pindah ke Sumba. Saran itu saya sambut dengan gembira karena saya sudah rindu pada Sumba yang telah saya tinggalkan selama kurang lebih lima tahun. Rindu saya waktu itu adalah rindu saya untuk kembali ke Waingapu dan bersekolah di sana. Tetapi ketika kami tiba di Waingapu, bapak mengatakan pada saya bahwa saya akan bersekolah di SMAK St Thomas Aquinas di Weetebula dan akan tinggal di asrama seminari Sinar Buana. Waktu itu ingatanku langsung tertuju pada Sinar Buana yang pernah saya lihat waktu kecil. (Waktu itu orangtua singgah di Weetebula dalam perjalanan munuju Bima). Masih segar dalam ingatan saya, saya ingat pater Bernhard berada di sana dan saya ingat asrama seminari itu tampak rapi dan hampir tiap anak mempunyai kain selimut bergaris panjang hitam dan putih. Tampak seragam dan indah. Ingatan ini membuat saya gembira berangkat bersama bapak ke Sinar Buana. Setiba di sana yang saya temui bukan lagi pater Bernhard tapi pater Romualdus Pitan SVD, dan saya pun tidak lagi melihat anak asrama yang berselimutkan kain bergaris hitam dan putih. (Beberapa tahun kemudian baru saya tahu, saya bisa masuk asrama seminari Sinar Buana karena tanteku yang waktu itu masih menjadi suster ADM).

Waktu bergulir cepat. Setelah selesai dari Sinar Buana, saya ke Malang, Jawa Timur dan belajar di sana selama tujuh tahun. Di tahun 1998 saya melanjutkan studi saya di Ireland. Akhirnya pada tanggal 23 September 2003 saya ditahbiskan imam oleh Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD di gereja St Andreas Ngallu, Sumba Timur. Saya bisa ditahbiskan di sana karena kerja keras pastor paroki waktu itu yang selama bertugas di sana tidak pernah alpa mengirimkan saya BERPASANG, berita paroki St Andreas, Ngallu. Dan beliau tidak lain adalah pater Bernhard Zyzik CSsR.

II

Saya dilahirkan tahun 1972 dan dibaptis di Melolo, Sumba Timur, oleh pater Hendrikus Küper CSsR. Kalau saya mencoba mengingat masa kecilku, bayangan pater Küper sama sekali tidak masuk dalam ingatan saya. Tapi cerita tentang beliau sering datang dari kakek dan orang tua saya. Pernah suatu saat orang tua saya bercerita bahwa waktu kecil pater Küper pernah menanyakan cita-cita saya dan menurut orang tua saya, jawaban saya adalah menjadi pater. Cerita-cerita kakek, ortu, beberapa keluarga yang lain, dan bahkan umat di Bima, membuat saya tertarik untuk mengetahui beliau lebih jauh. Karena itu ketika saya sekolah di SMP Diponegoro di Sumbawa Besar, saya memberanikan diri untuk menyuratinya. Dan betapa kagetnya saya ketika suatu hari saya menerima surat beliau. Tapi kontak saya di Indonesia berakhir di sini karena saya tidak berkirim surat lagi.

Belasan tahun kemudian ketika saya berada di Ireland, saya memulai lagi kontak dengan pater Küper yang waktu itu bekerja di Bochum, German. Sejak itu kami mulai bersurat dan bertelpon. Tahun 2001, saya berkesempatan ke German untuk menghadiri tabhisan teman kelasku. Saat itulah saya memutuskan untuk bertemu beliau dan kamipun berjanji untuk bertemu. Katanya, “Tunggu saya di stasiun kereta di Bochum, nanti saya jemput kamu”. Dengan beberapa teman, saya ke sana. Setiba di Bochum, setelah cukup lama menunggu, pater Küper pun belum muncul. Teman-teman saya bertanya,“Kamu kenal kan wajahnya?” Saya katakan tidak terlalu kenal karena saya hanya pernah melihat foto-foto masa muda beliau ketika beliau bekerja di Sumba Timur dan di Bima. Setelah beberapa saat, akhirnya kami memutuskan untuk keluar dari stasiun dan berencana untuk ambil taxi. Tetapi ketika kami berada di koridor, seorang bapak tua memberhentikan kami dan berkata dengan bahasa Indonesia yang lantang, “ Kalian pasti dari Indonesia” dan sambil menunjuk padaku, beliau berkata, “Kamu pasti Nico”. Saya langsung tahu ini pasti pater Küper dan saya bertanya, “bagaimana pater bisa tahu saya?” dan beliau menjawab, “Ya ... mukamu sama seperti bapakmu”.

------------------------------------------------------------

Inilah dua kisah sederhana tentang dua missionaries Redemptoris yang pernah saya temui dan saya kenal secara pribadi. Mereka dengan caranya sendiri telah berperan dalam perjalanan dan panggilan hidup saya. Barangkali keduanya tak menyadari bahwa cara hidup dan karya mereka ternyata telah menyentuh hidup dan panggilan saya. Mereka telah membantu saya untuk menjadi siapa saya hari ini. Tak sedikit nilai hidup dan semangat mengabdi telah saya petik dari kedua misionaris ini. Melayani tanpa pamrih, tanpa kenal kenal lelah, tanpa memandang siapa yang dilayani, tanpa perhitungan. Semangat semacam ini merupakan bekal awal dari kedua misionaris ini yang saya peroleh dalam meniti jalan panggilan saya. Kemudian ketika dikirim untuk menjadi misionaris ke Eropa, semangat yang tertanam lewat perjumpaan dengan para misionaris ini tampak mulai berbuah. Pater Bernard dalam cara hidupnya menunjukkan perhatian sangat besar kepada yang sakit. Ketika kuliah di Ireland, saya mengambil satu tahun praktek bekerja di “Tallaght Hospital” di Dublin. Duduk dekat dan berbicara dengan orang sakit punya makna yang sangat dalam bukan saja bagi yang sakit tetapi bagi saya pribadi juga. Kini di Bristol, setiap kali tahu ada umat yang sakit, sebisa mungkin saya memberi waktu untuk duduk dan mendengarkan mereka. Hal ini mungkin tidak berarti apa-apa dan sangat kecil. Tapi saya percaya bahwa satu kata penghiburan dekat seseorang yang berbaring sakit di tempat tidurnya cukup untuk memberi harapan dalam hidup.

Kedekatan Pater Bernhard dan Küper dengan keluarga-keluarga dalam kunjungan-kunjungan mereka luar biasa besar. Perhatian dan kedekatan mereka dengan anak-anak memberi inspirasi besar bagi begitu banyak anak. Saya pribadi pernah begitu kaget mendapat balasan dari pater Küper atas surat saya, sebuah perhatian yang luar biasa dan tak saya bayangkan.Teman saya mengatakan kepada saya bahwa hidup imamat akan mendapat arti dalam kedekatan terhadap keluarga-keluarga. Saya kira teman saya benar, pengenalan secara dekat dan pribadi dengan keluarga-keluarga akan meneguhkan hidup imamat itu sendiri. Maka tiga tahun lalu ketika pastor paroki meminta saya untuk menjalankan karya kategorial ditengah keluarga-keluarga Philipina yang ada di Bristol, saya pun menerima tugas ini dengan gembira. Saya merasa kedekatan saya dan kunjungan-kunjungan yang saya lakukan terhadap mereka telah membantu saya untuk menghayati panggilan imamat saya secara penuh.

Beberapa tahun lalu ketika saya mengunjungi pater Robert Ramone CSsR yang tinggal di biara St Alphonsus di Limerick, Ireland, tiap malam kami sempatkan diri untuk berekreasi bersama dengan pater-pater usia lanjut yang sudah pernah bermisi di luar Ireland. Pada suatu malam saya bertanya pada salah seorang pater Redemptoris yang sudah 40 tahun bekerja di Brasil, ” Having stayed in Brasil for 40 years, what is your advice for me as a young person who wants to be a priest?” Saya mengharapkan jawaban yang bertele-tele. Tapi jawabannya singkat,” Just be kind and be good to people”. Inilah kebijaksaan yang saya percaya telah menjadi pedoman pater Küper dan pater Bernhard dalam hidup dan karya mereka sebagai missionaries Redemptoris di Indonesia khususnya di pulau Sumba. Saya juga percaya banyak missionaries Redemptoris yang lain dengan cara mereka sendiri telah menyentuh banyak hati umat yang mereka gembalakan. Mereka telah menabur, menanam, menjaga, dan menghasilkan buah-buah kasih. Saya bangga dan bersyukur karena ikut mencicipi perhatian luar biasa para missionaries Redemptoris. Itulah nilai-nilai dan legasi Redemptoris yang akan terus diingat dan dikenang. Sebuah dasar yang kuat telah dibangun dan dipelihara seperti kata St Paulus, “Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita” (1 Tim 1:14).

Dirgahayu 50th Redemptoris di Indonesia !

-----------------------------------------

* Sekarang bekerja sebagai pastor pembantu di paroki St Mary-on-the-Quay, Bristol, England.

1 comment:

distannaksbd said...

Tulisan yg menyentuh. Memberi inspirasi. Selamat pater. Salam dr sumba (weetebula)